Monday 13 February 2012

Kriteria Pejabat dalam Memilih Apartemen

Alhamdulillah, saya bisa bangun malam untuk sholat malam, malam sebelumnya saya tidak bisa bangun malam, karena kecapekan setelah siangnya saya di kantor sampai malam, baru jam 10.30 PM saya sampai di kos saya di daerah Utan Panjang Kemayoran. Hanya jam-jam itu saya merasa tenang dan syahdu, karena tidak ada suara kendaraan yang berseliweran di jalan depan kos, juga karena sayup-sayup saya mendengar murrotal dari berbagai masjid di sekitar Kemayoran. Ini salah satu waktu yang saya dedikasikan untuk menghadap Atasan dari semua atasan di dunia, Raja dari semua raja di dunia, Allah SWT. Sejak bekerja, praktis, waktu saya semakin sempit untuk berlama-lama bertemu denganNya selepas shalat.
Subuh
Setelah menjalankan shalat tahajud 4 rakaat ditambah shalat hajat dan shalat Subuh, saya merasakan kantuk yang sangat, sayapun tertidur lagi, saya terperanjat, ketika ada bunyi sms di ponsel saya, terlebih saat melihat waktu sudah menunjukkan pukul 07.00 AM! Padahal jam 08.00 saya sudah harus ada di apartemen Bu Utari Hapsari (bukan nama sebenarnya), atasan saya, untuk menyelesaikan pekerjaan yang belum terselesaikaan.
Untuk menghemat uang, saya naik angkot sampai Terminal Senen, kemudian saya sambung memakai Taksi karena hari sudah siang (kalau tidak kesiangan, saya akan naik Metromini, untuk menghemat uang transport). Saya pilih taksi X, konon, Taksi ini yang paling murah dan ‘baik’.
Akhirnya pukul 08.30 AM, saya sampai  di apartemen Ibu. Setelah basa-basi sebentar, saya langsung bekerja di komputer tanpa CPU merk SS ini. Dengan koneksi internet, saya menyempatkan membuka facebook, blog, dan e-mail saya. But nothin’ special.
Rencana, ibu mau keluar makan siang dengan para koleganya, sambil menunggu waktu makan, dia berkaraoke. Dia membawakan beberapa lagu oldies yang tidak saya kenal, hanya familiar yang ‘It’s the hero.. ‘Jujur, suara ibu sangat bagus, saya merinding dibuatnya. Saya lempar sedikit pujian ke beliau. Ibu terlihat sangat senang, dan langsung meminta saya untuk fokus ke perkerjaan saja. Ditemani mbak Wiwi (bukan nama sebenarnya), house keeper di apartemen ibu, saya asyik dengan pekerjaan saya.
Tik tok, tik tok,
Waktu berputar sangat cepat. Tiba-tiba waktu sudah menunjukkan pukul 02.00 PM, dan saya belum selesai. Saya khawatir, pekerjaan saya belum selesai ketika ibu pulang nanti. Kekhawatiran saya cukup beralasan, ibu sangat ketat terhadap waktu dan produktifitas para stafnya. Saya ingin kerja saya tidak mengecewakan beliau. I’ll do it well. Ketika Ibu pulang pukul 02.30 PM, saya belum menyelesaikan laporannya. Tidak mengapa ternyata, beliau tidak marah. Saya juga tinggal finishing saja. Alhamdulillah..
Sebenarnya saya sudah sangat lelah, semalam saya pulang larut, dan sekarang saya harus di depan komputer lagi, hampir seharian. Saat melihat ibu mengecek pekerjaan saya, saya ‘nggliyeng’ seperti hampir pingsan. Saya kedip-kedipkan mata, geleng-gelengkan kepala, dan saya tarik nafas panjang, untuk mengalirkan darah ke otak. Saya berhasil, saya tidak jadi pingsan ^^
Salah satu sudut apartemen mewah di Jakarta Pusat
Singkat cerita, selesai juga saya mengerjakannya. Kemudian saya diminta ibu untuk melihat-lihat apartemen baru, di sekitar sini juga. Rencana, ibu mau membeli satu apartemen lagi untuk adiknya, karena selama ini, mereka berdua tinggal di apartemen yang sama. Satu apartemen tidak cukup menampung barng-barang mereka, terlebih ketika semua kerabat berkumpul di apartemen ini, pasti akan sangat sesak dan tidak nyaman. Begitu kira-kira alasan ibu, mengapa dia harus membeli satu apartemen lagi.
Kami di antar oleh salah satu tim Marketing di sini. Namanya Mbak Ita, seorang wanita berumur sekitar 28 tahun, cantik, dan ramah, dia menawarkan 1 apartemen yang pintu luarnya menghadap Hotel SRL, sesuai permintaan ibu. Yang saya tidak habis fikir, beliau tidak suka dengan apartemen tersebut  karena, meskipun menghadap ke Hotel SRL, tetapi dari apartemen, masih terlihat perkampungan, rumah-rumah penduduk yang semerawut. Dengan atap-atap seng yang sudah berkarat, rumah-rumah itu memang tidak nyaman di pandang. Ibu hanya mau Hotel SRL yang terlihat. Mbak Ita menawarkan apartmen yang lebih tinggi, biar perkampungannya tidak terlihat.
Begitulah, sore itu, kami bertiga naik turun lift untuk meliahat apartemen. Ada satu catatan penting yabg berhasil saya rekam, dari kejadian sehari ini. Yang pertama, Mbak Wiwi memberi saya kue Pukis sewaktu mengerjakan tugas saya. Kue pukis yang enak sewaktu hangat. Meski sudah dingin, kuenya memang tetap enak, hanya saya sudah makan roti keju dari ibu. Jadi kepuasan marginal akan makanan sudah mengecil. Saya sangat tersentuh dengan kebaikan mbak Mimi, dia memberi saya kue yang dia beli sewaktu di perjalanan ke sini. Awalnya saya merasa kasihan, karena pemberiannya tidak saya makan, karena saya sudah kenyang. Tapi saya tidak kasihan, hanya sayang  ma kuenya, jadi tidak ada yang memakannya. Saya tidak kasihan, setelah saya berfikir sejenak, saya justru merasa takjub denagan Mbak Mimi, dia dengan baik dan ramah mau berbagi kue dengan saya.
Ya, dia hanya housekeeper, yang bertugas membersihkan apartemen ibu. Tapi sikap dan sifatnya yang ramah, menunjukkan dia orang yang kaya hatinya. Mungkin dia merasa, dengan berbagi, tidak akan mengurangi nikmatnya, justru berbagi, akan melipat gandakan kenikmatan yang didapat dengan melihat orang lain juga mendapatkan nikmat yang sama. Kurang lebih seperti itu.
Hal kedua yang berhasil saya reken di memori saya, adalah peristiwa ‘ketidaksukaan’ ibu melihat perkampungan (kumuh) di depan bakal  calon apartemennya ini. Bagaimana mungkin seorang pejabat teras tidak suka melihat kampung-kampung rakyatnya. Padahal dia bekerja untuk Negara, dibayar oleh Negara. Uang Negara dari rakyat itu sendiri. Dia lupa, bahwa rakyat adalah entitas Negara, komponen dari sebuah Negara.
Tugasnya-lah, bagaimana agar, rumah-rumah di kampung itu hilang. Iya hilang.
Hilang, karena status merekah berubah, dari pra sejahtera menjadi sejahtera, dari sejahtera kelas bawah menjadi sejahtera kelas menengah, dan seterusnya dan seterusnya. Begitulah, tugas para pemimpin negara adalah mensejahterkan rakyatnya. Yang saya lihat ini, membuat saya sempat terhenyak, para pejabat ternyata sudah kehilangan sensitifitas dengan penderitaan rakyat, karena terlalu seringnya mereka menikmati fasilitas-fasilitas mewah dari negara. Saya takut membayangkan bagaimana dengan para anggota DPR, bagaimana dengan Presiden dan Wapresnya, mereka terbiasa di layani, apakah mereka pernah berpikir bahwa harusnya melayani rakyatnya?? 

Tapi saya tetap optimis, ini hanya kasuistik, dan semoga saya salah. Dan masih banyak pemimpin yang sangat faham dengan penderitaan rakyat, yang adil, yang jujur, yang amanah. Saya percaya, karena harapan itu masih ada.
Wallahu a’lam..
Terakhir, saya ingin berdo’a, ya Allah jadikanlah para Pemimpin kami adalah para pemimpin yang adil, pemimpin yang taqwa, pemimpin yang amanah, pemimpin yang jujur, yang mencintai dan di cintai rakyat karena penuh kasih sayang, melayani rakyat, dan berkomitmen dan bekerja untuk kemakmuran rakyatnya. Aamiin ya Rabbal ‘aalamiin..

No comments:

Post a Comment